Eksotika Episode Hidup (I)

Thursday 28 March 20131comments

Oleh ; Aliyatul Husna

    Sekarang hanya suasana gelap yang menemaniku.  Aku mendekap , berpeluk erat dengan lutut yang beraroma amis. Kurasakan gumpalan darah yang kental mengering, yaa bekas luka  siksaan pisau tajamnya. Aku menangis,  menatap dinding meski  gelap tanpa cahaya . Sudah 2 minggu aku menetap dalam ruangan kecil nan pengap ini. Siluet wajah ibu dan Yahya menari-nari di pelupuk mataku. Aku menangis dalam kesendirian, di mana suara mereka asyik berpesta ria, menikmati romansa dunia yang akan sirna.

Wisuda Pengkhamataman Hafalan 30 juzku

“Ahmad, akhirnya kita bisa menjadi keluarga Allah !”, aku memeluk erat mushaf kecil di genggamanku. Ahmad tersenyum
”Alhamdulillah, aku salut padamu, kau bisa menjadi seorang penghafal Qur’an seperti namamu HAFIZH !", aku mengangguk pelan, teringat senyum dan ciuman lembut ibu di keningku  saat aku hendak melangkahkan kaki untuk menghadiri Wisuda Penkhataman Hafalan 30 Juzku.
“Surat apa yang paling berkesan bagimu Ahmad ?”.
 “Surat Al-Anfal “. Jawab ia singkat .
 “Taukah kau Hafizh , jika kita sudah menjadi keluarga Allah , kita kelak akan memakaikan mahkota di atas kepala orang tua kita !”. Aku menatap Ahmad yang tengah tersenyum.
" wahh ingin sekali aku memakaikan mahkota di atas kepala ayah dan ibu , memandang wajah Allah , aku sangat ingin Ahmad .
“Hafizh, kita harus tetap membela negeri kita , biarlah umur kita masih  10 tahunan dan biarlah badan kita hancur lebur tercoreng siksa dunia “.
“Iya, ‘isy kariiman aw mut syahiidan, hidup mulia atau mati syahid “.

                                                                       ***
Rendaman Gandumku
“Hafidz, anakku bisakah kau membantuku ?". Saut ibuku.  Akupun segera menghampiri ibu yang tengah sibuk menggendong si kecil Yahya .
“Iya ibu, apa yang bisa Hafizh bantu ?”. Aku tersenyum menatap ibu, wajah tulusnya selalu menentramkan hatiku. Rasanya aku ingin berlama-lama menatap wajah ibu, seakan-akan beberapa hari lagi aku akan pergi jauh meninggalkannya.
“Seperti biasa jundiku, rendaman gandum ala-mu “. Ibu mencubit pipi gembulku, aku bergegas ke dapur kecil kami yang nan berukuran sangat sempit, hanya ada dua piring, dua gelas, satu periuk besar serta kecil dan satu baskom untuk merendam gandum. Sejak negara kami diblokade, susu formula bayi sangat sulit didapat. Agar asi ibu lancar, ibu terpaksa meminum air rendaman gandum dan aku sangat senang saat ibuku memuji hasil rendaman gandumku. Katanya  rendaman gandumku enak sekali.  Usai merendam gandum, aku menaruh air rendaman itu ke dalam gelas melanin. sekejab aku menuju kamar ibu lalu menyodorkannya ke hadapannya. Dengan senyum hangat ala-nya, ibu menerima sodoranku, meminumnya seteguk lalu berhenti sejenak, lalu meminumnya seteguk lagi, berhenti sejenak dan begitulah seterusnya. Aku heran dengan cara ibu  minun, aku bertanya ”Kenapa cara ibu minum aneh sekali ? Apa karna rendaman gandumku kali ini tidak enak ?” kritis ku.
 Ibu mengelus-ngelus rambut hitamku. “Rendaman gandummu sangat lezat sekali jundiku , ibu sangat menyukainya !”.
“Terus, mengapa ibu minum seteguk lalu berhenti sejenak , minum lagi seteguk lalu berhenti sejenak, minum lagi seteguk lalu berhenti lagi sejenak  sampai air di dalamnya habis !”. Ibu tertawa pelan, kali ini mencubit kedua pipi gembulku. Terdengar rengekan pelan Yahya di atas ranjang. Sepertinya, ia cemburu karena ia tidak bisa merasakan cubitan lembut ibu dipipinya.
“Ibu minum seperti itu, supaya tidak ada bakteri-bakteri serta kuman-kuman pada air yang ibu minum. Kalau sampai ibu bernapas dalam gelas, karbondioksida akan masuk ke air rendaman. Malah akan menimbulkan penyakit.  Nabi kita mengajarkan agar kita tidak bernapas dalam gelas “. Aku mengangguk-anggukkan kepala  seolah-olah mengerti.
“Hanya itu saja, bu ?”. Tanyaku lagi
 Ibu tertawa geli. “Apa lagi yaa ?? Oh ya, supaya kita juga bersabar jundiku, tidak tergesa-gesa .”. Aku memeluk ibu erat sekali seolah kali ini aku tak ingin berpisah dengan ibu .
 “Hafizh akan minum dengan cara ibu juga , Hafizh mau mengikuti sunnah Nabi Muhammad dan Al-Qur’an, Hafizh ingin seperti Syeikh Ahmad Yasin, Yahya Ayyash, Ismail Haniah dan Hafizh ingin seperti  ayah”.  Aku rasakan bulir air mata hangat ibu, jatuh membasahi tanganku, semakin aku tak ingin mengecewakan ibu.
                                                            ***
Pengajian Satu Jamku
Ahmad dengan semangatnya menungguku sedangkan aku sibuk mencari buku hadiah wisuda pengkhatam hafalan 30 juzku. Buku itu memang sengaja aku khususkan untuk buku pengajian.
“Ibu, lihat bukuku tidak ?”. Teriakku panikan sambil membongkar rak buku kecil ayah.
                “Memangnya kau letakkan dimana Hafizh ?”. Tak aku sangka teman kecilku membantuku untuk mencarinya .
 “Aku lupa, aku lupa, bagaimana ini ? Bisa-bisa kita telat ikut pengajian. Pengajian itu begitu berarti walau durasinya hanya 1 jam dan bayangkan saja ia dilaksanakan hanya 1 kali pertemuan dalam seminggu“. Aku panik, bulir air mataku hendak jatuh, tapi aku berusaha menahannya.
“Sudahlah Hafizh, kau pakai saja bukuku. Kebetulan aku membawa dua buku “. Aku menatap Ahmad  dan kali ini air mataku jatuh , memeluknya dengan erat.
”Terimakasih Ahmad, kau baik sekali padaku !”. Entah kenapa ada rasa aneh yang menyelubungi  hatiku, aku takut berpisah dengan Ahmad, apalagi tidak bertegur sapa dengannya. Serasa Ahmad ingin pergi jauh, menghilang dari penglihatanku.
“Hafizh, jundiku !”. Terdengar suara ibu. Aku melepaskan pelukanku dengan Ahmad, aku melihat ibu.
“Kau mencari buku kajianmu bukan ?”. Aku mengangguk pelan, ibu memberi buku kajianku, aku menerimanya. “Sayang, lain kali jangan berteriak lagi yaa, orang yang berteriak tanpa alasan yang jelas itu tidak baik, apalagi jika teriakannya seperti suara keledai ”.
”iyaa ibu, maafkan aku. Tadi aku panik, aku tak akan mengulanginya, bu “. Ujarku. Ibu tersenyum dan memelukku. Lalu, aku dan Ahmad langkahkan kaki menuju pengajian.
Di pengajian kecil ini, tepatnya pada bekas reruntuhan bangunan, di atas alas pelepah kurma. Aku, Ahmad dan teman-temanku diajarkan arti saling mengenal, saling memahami dan saling menanggung beban. Di sini kami belajar ayat-ayat al-Qur’an, menghafalnya, mengkajinya, mempelajari tafsirnya dan berbagai macam ilmu lainnya. Kami dibimbing oleh  salah satu pasukan HAMAS. Entah mengapa, aku ingin mengikuti kajian ini terus menerus sampai titik darah penghabisanku .

Bersambung ke Eksotika Episode Hidup (II)
                                      


                             
Share this article :

+ comments + 1 comments

30 March 2013 at 02:07

Luar biasa ,,,, :)

Post a Comment

 
Support : el-Azizy | Forsilam Mesir | Blog
Copyright © 2011. Forsilam Mesir - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Amar
Proudly powered by Blogger