Eksotika Episode Hidup (II)

Friday 29 March 20130 comments

Oleh : Aliyatul Husna
Harum Darahnya
Hari ini sepi sekali. Kembang api pembunuh tadi malam cukup menghiburku, walau berciknya mampu melepuhkan kulit. Hari ini tak aku lihat Ahmad yang selalu semangat. Kata ibu ia pergi menghantarkan ibunya bersalin ke Rumah Sakit yang mempunyai peralatan lengkap di daerah Rafah. Aku menatap suasana luar lamat-lamat. Menghela nafas, hatiku berkecamuk oleh perasaan sedih.

Teringat kata pemimbingku, "mengingat Allah itu membuat hati kita tenang". Akhirnya aku putuskan untuk bersilaturrahmi ke rumah Shaleh, sekalian untuk mengulang-ulang hafalan bersamanya. Lafaz hijaiyyah Shaleh lebih fashih dari lafaz hijaiyyahku. Bacaan Al-Qur’annya sangat indah. Tak lupa aku mencium tangan ibu, memeluk ibu dengan eratnya.  Aku takut aku takkan pulang ke rumah, diam-diam aku menangis sendu dalam pelukan, ibu mengusap-usap lembut punggungku, tersalur sedikit rasa ketenangan dari sentuha lembut jari-jari ibu. “Aku pergi dulu bu, assalammu’alaikum “. Ibu menjawab salamku pelan, melambaikan tangannya. Aku berlari kecil sambil melambaikan tanganku, menatap Ibu sampai ia hilang dari penglihatanku. Di tengah perjalanan, aku mengulang-ulang hafalan." Nikmat yang manakah yang kamu dustai ?", ahh aku selalu merasa bersalah ketika melafazkan dan mendengarkan serta mentadabburi ayat itu. Ya Rabb maafkan Hafizh, sungguh Hafizh belum bisa menyamai dan tak akan bisa menyamai Anas bin Malik, sahabat muda yang menempati urutan ketiga dalam perowi hadist disekitar para sahabat, ratusan lebih hadits telah dihafalnya, sedangkan aku ?. Aku terus berjalan menyusuri tanah tandus, tak sadar air mata telah membasahi pipiku.
“Haa...Fii.....Zh. Awaaaasssss .........”

Aku mendengar teriakan seseorang  dan suara itu begitu tidak asing di telingaku, yaa suara itu makin dekat semakin mendekatiku.

“Haaaffiizh ...Awaaasss.......!”. Iya, suara itu suara Ahmad. Ia sudah berada di depanku, aku tersenyum menatapnya. Tapi, Duuuuaaarrr..Duarr..Duaarr !!!.  Terdengarlah suara tembakan oleh telingaku. Kulihat monster itu datang dengan senapan canggihnya. Ia tertawa terpingkal-pingkal, lalu pergi meninggalkan kami .  Ahmad jatuh tersungkur,  matanya menatap mataku lamat-lamat. Ia terbaring di tanah tandus yang tak berarti, kulihat 3 tembakan sekaligus menembus dadanya.

“Hafizh, Sahabatku yang a...aa...akku ..saa..yaangii .. aakkuu men...men...menn...cintai..mu ...kar...kar...na Allah ,,,,”. Air mataku mengalir begitu derasnya , bajunya dibasahi oleh darahnya yang bersimbah. Aku mengusap wajahnya, aku peluk badannya dengan erat, "Ahmad jangan pergi , aku mohon padamu Ahmad, jaangan Pergi". Darah itu begitu wangi, mengalir membasahi tanah  yang tandus, membasahi bajuku. Ahmad tunggu aku, aku akan menyusulmu dan kita akan bertemu di jannahNya dan biarlah kenangan itu bersemayam dalam benakku Ahmad, biarlah darah mewangimu, darah harum semerbak syahidmu yang menjadi saksi, suara kebebasan akan segera menghampiri negeri kita.
                                                                     ***

Selamat Tinggal Ibu

Aku tetap merangkul tubuh Ahmad, memeluknya erat sekali. Ku lihat 5 tank baja siap menghancurkan rumah-rumah kami, ku lihat tentara-tentara zionis dengan seragam hijau belang-belangnya  dengan senapan  canggihnya.  Aku siapkan peluru saktiku, walau ia hanya batu-batu kecil tapi ia cukup kuat. Aku bangkit, melemparkan batu-batu kecil itu satu persatu ke arah mereka. Lima  tank baca itu terus berpacu, tak menghiraukanku dan acuh tak acuh padaku. Aku terus melempar batu-batu kecil, tiga tentara tertawa kencang di depanku. “Hei anak tengik, kami tak ada waktu untuk mengurusimu “ . Ia memegang daguku, lalu menaruh rokoknya yang masih menyala ke wajahku, aku meringis kesakitan. Tanpa perlu berkata-kata aku luncurkan ludahku ke wajahnya. Ia tersenyum, yaa monster itu tersenyum  sambil menghapus ludahku di wajahnya. “Bangsat kau, prasetan !! “ . Ia mengumpat, aku tesenyum.
“Pergi kau la’natullah ! “. Aku melemparkan sisa batu kecil di sakuku. Lemparan itu cukup membuat pelipisnya berdarah. Kali ini, ia mematahkan tanganku lalu membawaku pergi. “Ibu selamat tinggal, tunggu aku di jannahNya bu. Hafizh cinta Ibu karena Allah. Hafizh akan sampaikan salam ibu kepada ayah.
Entah kemana aku dibawanya, di ruangan sengap dengan beribu siksaan menghujam, tanpa makanan dan minuman. Ruangan ini begitu gelap, tak ada sinar sama sekali, aku tak tahu kapan waktu shalat, kapan malam dan kapan siang. Hanya Allah yang selalu menemaniku , entah kapan aku akan hidup, aku tak tahu. Wisuda penamatan hafalan 30 juz, rendaman gandum, pengajian satu jam, harum darahnya, ibu, Yahya. Aku rindu segalanya. Tapi aku lebih rindu lagi bertemu dan memandang wajahNya.

Kini, entah mengapa ruangan  ini begitu terang, kulihat ahmad menghampiriku, memelukku dengan erat dan yang lebih mengejutkanku, ayah datang bersamanya. Aku peluk ayah dengan eratnya dan aku sampaikan salam ibu padanya. Ayah tersenyum, aku tatap Ahmad sambil berkata “Teringat kembali ucapanku padamu Ahmad, "isy kariiman aw mut syahiidan hidup mulia atau mati syahid”.






Share this article :

Post a Comment

 
Support : el-Azizy | Forsilam Mesir | Blog
Copyright © 2011. Forsilam Mesir - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Amar
Proudly powered by Blogger