Sumber Foto : Raidah Assolihah
Hak Cipta Foto : Abdiee Fotografhy
Hidup adalah cuplikan cinema yang diputar dalam layar kehidupan. Berusaha mencapai ending cerita yang disekenariokan sang sutradara. Berperan menjadi “aktor” multi karakter. Mungkin tak banyak yang mampu memahami inti cerita, namun banyak yang mahir menjelaskan alur kisah.
Dalam lembar
kehidupan yang senantiasa penuh ujian dan cobaan, manusia dituntut untuk selalu
tegar dalam menghadapi segala rintangan. Deburan ombak cobaan yang menimpa
bukanlah akhir dari kisah,
namun ia cuplikan awal untuk melangkah
ke fase cobaan berikutnya. Mampukah kita melewatinya ? hanya iman kita yang
mampu menjawabnya.
Di dalam
kehidupan, manusia sering kali tertipu akan prahara dunia yang siap membawa
alur menuju jalan yang berkabut. Gelap, tak memiliki tujuan yang pasti. Hidup
menjadi pasif. Keluar dari substansi tujuan penciptaan manusia. Tak kenal
perintah, tak kenal larangan. Agama menjadi label identitas semata.
Fitnah dunia
adalah sebuah keniscayaan, yang kapan saja siap melontar iman ke jurang
kegelapan. Semua itu bukanlah halusinasi semata, melainkan jebakan kristal tajam
berlapiskan mutiara yang siap membawa iman ke dalam badai kemaksiatan. Menjadi
budak setan bertuhankan iblis. Menjadi budak harta berselimutkan wanita.
Menjadi budak jabatan bermahkotakan kekuasaan. Sulit untuk dimengerti. Seakan
terjebak dalam kerangka baja didasar pusaran bumi, tak tersentuhkan cahaya lagi
udara. Apa yang diharapkan lagi dari hasil akhir kehidupan jika peran aktor tak
lagi dibutuhkan.
Allah ‘Azza
wajalla tak pernah membuat hambanya pesimis untuk mencapai sebuah perubahan. Ia
menjadikan Islam sebagai “paradigma” kehidupan manusia. Ia
memberikan ayat-ayat yang menjelaskan akan pentingnya pembaharuan dalam hidup.
Di dalam Surah An-Nisa’ ayat 34 Allah swt berfirman ; “Innallaha la
yughayyiru ma biqawmin hatta yughayyiruu ma bi’anfusihim”. Allah tidak akan
merubah hidup suatu kaum, sampai ia merubah hidupnya sendiri. Allah menciptakan
manusia sebagai makhluk yang memiliki kehendak bebas. Ia hanya memberikan
sarana islam sebagai “rahmatan lil’alamin”, petunjuk bagi sekalian umat untuk memperoleh
kehidupan yang lebih baik.
Untuk mencapai
perubahan tidak hanya sebatas mulut yang berucap, lebih dari itu harus ada “relevansi” antara tindakan dan
tekad yang kuat tertanam kokoh di dalam hati. Seperti halnya syukur. Syukur tak
hanya sebatas kata yang terikrar dari lisan, kemudian lepaslah kewajiban untuk
bersyukur. Syukur harus diucapkan dengan lisan (Sukrul qowli), Syukur mesti
diyakini dengan hati (syukrul i’tiqody), dan yang terakhir syukur harus
diamalkan dengan perbuatan (syukrul amali). Semuanya harus menyatu dalam satu
unsur kehidupan, barulah
sebuah perubahan menanggalkan efek yang besar dalam kehidupan yang akan datang.
Tanpa disadari,
sering kali keluhan terlontar dari mulut seorang manusia. Menyalahi takdir buruk
yang menimpa dirinya, kemudian iri terhadap hamba yang memiliki nasib yang
lebih baik. Ketahuilah, bahwa semua itu adalah ujian, sarana pengukuhan iman
seorang hamba yang mengagungkan kuasa tuhannya. Tugas manusia hanyalah
memaksimalkan penghambaanya, kemudian bersyukur atas nikmat yang telah
dikaruniakan. Hanya itu saja, selebihnya hanya manusia sendiri yang memilih
bagaimana cara dalam mengamalkannya. Apakah dengan kemaksiatan ataukah dengan
ketaqwaan.
Sebuah perusahaan
tidak akan bisa menjadi besar tanpa didukung dengan sistem, manajemen, konsep,
aturan bahkan prinsip. Semua bermula dari awal. Sistem seperti apa yang harus
dibentuk, manajemen bagaimana yang musti dijalani, konsep, prinsip, dan aturan apa yang wajib
ditaati, semua itu adalah proses. Sehingga hasil akhir dari semua proses itu
adalah kesuksesan. Bagaimana semua itu bisa dicapai ? Tidak lain semua berawal
dari tindakan.
Pernahkan kau
menyadari betapa hinanya dirimu dihadapan Allah ? Pernahkan kau merasa bahwa
imanmu jauh dibawah iman sahabatmu yang senantiasa taat kepadanya ? Ataukah
sering kali kau merasa tidak sanggup untuk menghadapi ajal kematian ? Jika iya,
maka engkau masuk kedalam golongan manusia yang beruntung. Hatimu masih hidup.
Engkau masih memiliki harapan untuk menuai perubahan. Segeralah bangkit, Allah
tengah menanti kehadiranmu dengan senyuman kasih sayang-Nya.
Memang, tidak
mudah mengambil keputusan untuk bangkit dari keterpurukan. Sadar akan hal itu,
namun sulit menemukan cara dari mana harus bangkit. Bingung, duduk termangu berharap hidayah
menghampiri. “Ya Rob, berikan aku hidayah. Mengapa engkau belum mengirim
hidayah kepadaku?”. Masya Allah, kau mengharapkan hidayah Allah, tapi kau hanya mampu
diam menunggu kehadirannya. Menunggu bukanlah cara yang tepat untuk meraih
hidayah. Untuk apa kau berharap hidayah akan menghampiri tanpa ada usaha
pembenahan dalam diri. Kau salah besar. Jangan jadikan hidayah sebagai dalih
kesulitanmu untuk bangkit. Kau sendiri yang harus menemukan hidayah. Bangkitlah,
maka perubahan akan berpihak kepadamu.
Ujian yang kau
terima tidaklah sepadan dengan apa yang kau peroleh dari tuhanmu. Berapa banyak
nikmat tuhan yang kau kufuri. Betapa seringnya kau mengeluh atas ujian kecil yang
kau terima. Cobalah untuk lebih menghargai jalan hidupmu. Perbaiki pola
hidupmu. Rubah alur kisahmu. Jadilah seorang hamba yang siap menghargai
keputusan yang allah berikan kepadamu. Ciptakan ide cerita baru yang lebih
dramatis agar kisahmu lebih diminati. Jadikan masa keterpurukanmu sebagai wadah
pembelajaran untuk meraih “pembaharuan”.
Tuhan, aku ingin
berubah. “Allahumma tsabbit qolby ‘ala too’atik”
Cairo, 20/6/15.
+ comments + 3 comments
Yap, begitulah hidup. Kita dituntut cerdas menyikapi.
Angkat topi untuk tulisannya. ;)
Topinya jangan dibuang ya kakak..
thanks bro. Allah akan menanti kehadiran kita dengan Senyuman-Nya :"")
Post a Comment