Oleh : Aliyatul Husna
“Hafizh, Sahabatku yang a...aa...akku ..saa..yaangii .. aakkuu men...men...menn...cintai..mu ...kar...kar...na Allah ,,,,”. Air mataku mengalir begitu derasnya , bajunya dibasahi oleh darahnya yang bersimbah. Aku mengusap wajahnya, aku peluk badannya dengan erat, "Ahmad jangan pergi , aku mohon padamu Ahmad, jaangan Pergi". Darah itu begitu wangi, mengalir membasahi tanah yang tandus, membasahi bajuku. Ahmad tunggu aku, aku akan menyusulmu dan kita akan bertemu di jannahNya dan biarlah kenangan itu bersemayam dalam benakku Ahmad, biarlah darah mewangimu, darah harum semerbak syahidmu yang menjadi saksi, suara kebebasan akan segera menghampiri negeri kita.
***
Selamat Tinggal Ibu
Hari ini sepi
sekali. Kembang api pembunuh tadi malam cukup menghiburku, walau berciknya
mampu melepuhkan kulit. Hari ini tak aku lihat Ahmad yang selalu semangat. Kata
ibu ia pergi menghantarkan ibunya bersalin ke Rumah Sakit yang mempunyai peralatan
lengkap di daerah Rafah. Aku menatap suasana luar lamat-lamat. Menghela nafas,
hatiku berkecamuk oleh perasaan sedih.
Teringat kata
pemimbingku, "mengingat Allah itu membuat hati kita tenang". Akhirnya
aku putuskan untuk bersilaturrahmi ke rumah Shaleh, sekalian untuk mengulang-ulang
hafalan bersamanya. Lafaz hijaiyyah Shaleh lebih fashih dari lafaz hijaiyyahku.
Bacaan Al-Qur’annya sangat indah. Tak lupa aku mencium tangan ibu, memeluk ibu
dengan eratnya. Aku takut aku takkan pulang
ke rumah, diam-diam aku menangis sendu dalam pelukan, ibu mengusap-usap lembut
punggungku, tersalur sedikit rasa ketenangan dari sentuha lembut jari-jari ibu.
“Aku pergi dulu bu, assalammu’alaikum “. Ibu menjawab salamku pelan,
melambaikan tangannya. Aku berlari kecil sambil melambaikan tanganku, menatap
Ibu sampai ia hilang dari penglihatanku. Di tengah perjalanan, aku mengulang-ulang
hafalan." Nikmat yang manakah yang kamu dustai ?", ahh aku
selalu merasa bersalah ketika melafazkan dan mendengarkan serta mentadabburi
ayat itu. Ya Rabb maafkan Hafizh, sungguh Hafizh belum bisa menyamai dan tak akan
bisa menyamai Anas bin Malik, sahabat muda yang menempati urutan ketiga dalam
perowi hadist disekitar para sahabat, ratusan lebih hadits telah dihafalnya,
sedangkan aku ?. Aku terus berjalan menyusuri tanah tandus, tak sadar air mata
telah membasahi pipiku.
“Haa...Fii.....Zh. Awaaaasssss .........”
Aku mendengar teriakan seseorang dan suara itu begitu tidak asing di telingaku, yaa suara itu makin dekat semakin mendekatiku.
“Haaaffiizh ...Awaaasss.......!”. Iya, suara itu suara Ahmad. Ia sudah berada di depanku, aku tersenyum menatapnya. Tapi, Duuuuaaarrr..Duarr..Duaarr !!!. Terdengarlah suara tembakan oleh telingaku. Kulihat monster itu datang dengan senapan canggihnya. Ia tertawa terpingkal-pingkal, lalu pergi meninggalkan kami . Ahmad jatuh tersungkur, matanya menatap mataku lamat-lamat. Ia terbaring di tanah tandus yang tak berarti, kulihat 3 tembakan sekaligus menembus dadanya.
Aku mendengar teriakan seseorang dan suara itu begitu tidak asing di telingaku, yaa suara itu makin dekat semakin mendekatiku.
“Haaaffiizh ...Awaaasss.......!”. Iya, suara itu suara Ahmad. Ia sudah berada di depanku, aku tersenyum menatapnya. Tapi, Duuuuaaarrr..Duarr..Duaarr !!!. Terdengarlah suara tembakan oleh telingaku. Kulihat monster itu datang dengan senapan canggihnya. Ia tertawa terpingkal-pingkal, lalu pergi meninggalkan kami . Ahmad jatuh tersungkur, matanya menatap mataku lamat-lamat. Ia terbaring di tanah tandus yang tak berarti, kulihat 3 tembakan sekaligus menembus dadanya.
“Hafizh, Sahabatku yang a...aa...akku ..saa..yaangii .. aakkuu men...men...menn...cintai..mu ...kar...kar...na Allah ,,,,”. Air mataku mengalir begitu derasnya , bajunya dibasahi oleh darahnya yang bersimbah. Aku mengusap wajahnya, aku peluk badannya dengan erat, "Ahmad jangan pergi , aku mohon padamu Ahmad, jaangan Pergi". Darah itu begitu wangi, mengalir membasahi tanah yang tandus, membasahi bajuku. Ahmad tunggu aku, aku akan menyusulmu dan kita akan bertemu di jannahNya dan biarlah kenangan itu bersemayam dalam benakku Ahmad, biarlah darah mewangimu, darah harum semerbak syahidmu yang menjadi saksi, suara kebebasan akan segera menghampiri negeri kita.
***
Selamat Tinggal Ibu
Aku tetap
merangkul tubuh Ahmad, memeluknya erat sekali. Ku lihat 5 tank baja siap
menghancurkan rumah-rumah kami, ku lihat tentara-tentara zionis dengan seragam
hijau belang-belangnya dengan
senapan canggihnya. Aku siapkan peluru saktiku, walau ia hanya
batu-batu kecil tapi ia cukup kuat. Aku bangkit, melemparkan batu-batu kecil
itu satu persatu ke arah mereka. Lima tank baca itu terus berpacu, tak menghiraukanku
dan acuh tak acuh padaku. Aku terus melempar batu-batu kecil, tiga tentara
tertawa kencang di depanku. “Hei anak tengik, kami tak ada waktu untuk mengurusimu
“ . Ia memegang daguku, lalu menaruh rokoknya yang masih menyala ke wajahku,
aku meringis kesakitan. Tanpa perlu berkata-kata aku luncurkan ludahku ke
wajahnya. Ia tersenyum, yaa monster itu tersenyum sambil menghapus ludahku di wajahnya.
“Bangsat kau, prasetan !! “ . Ia mengumpat, aku tesenyum.
“Pergi kau
la’natullah ! “. Aku melemparkan sisa batu kecil di sakuku. Lemparan itu cukup
membuat pelipisnya berdarah. Kali ini, ia mematahkan tanganku lalu membawaku
pergi. “Ibu selamat tinggal, tunggu aku di jannahNya bu. Hafizh cinta
Ibu karena Allah. Hafizh akan sampaikan salam ibu kepada ayah.
Entah kemana aku dibawanya, di
ruangan sengap dengan beribu siksaan menghujam, tanpa makanan dan minuman.
Ruangan ini begitu gelap, tak ada sinar sama sekali, aku tak tahu kapan waktu
shalat, kapan malam dan kapan siang. Hanya Allah yang selalu menemaniku , entah
kapan aku akan hidup, aku tak tahu. Wisuda penamatan hafalan 30 juz, rendaman
gandum, pengajian satu jam, harum darahnya, ibu, Yahya. Aku rindu segalanya.
Tapi aku lebih rindu lagi bertemu dan memandang wajahNya.
Kini, entah
mengapa ruangan ini begitu terang,
kulihat ahmad menghampiriku, memelukku dengan erat dan yang lebih
mengejutkanku, ayah datang bersamanya. Aku peluk ayah dengan eratnya dan aku
sampaikan salam ibu padanya. Ayah tersenyum, aku tatap Ahmad sambil berkata
“Teringat kembali ucapanku padamu Ahmad, "isy kariiman aw mut syahiidan
hidup mulia atau mati syahid”.
Post a Comment